Batavia
Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia-Belanda jatuh ke tangan Jepang. Sebagai bagian dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti menjadi Jakarta. Bentuk bahasa Melayunya, yaitu "Betawi", masih tetap dipakai sampai sekarang.
Asal nama
Nama Batavia berasal dari suku Batavia, sebuah suku Germanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku ini.Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar buatan Belanda (VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama Betawi- Batavia, atau bahkan sebaliknya, pihak VOC yang menggunakan nama Batavia untuk menamai kapalnya. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.
Sejarah
Sunda Kelapa
Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.
Jayakarta
Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon.Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Batavia
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavieren.
Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa”.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia.
Penduduk
Orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa.
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota. Foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di Mester atau Meester Cornelis sebutan Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.
Penduduk Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.
Die Gestalt der Stadt
Batavia wurde an der Seite einer vorhandenen javanischen Stadt Jacatra gebaut. Jacatra war eine kleine Handelsstadt im Westlichen Java am Mund des flussCiliwung. Der VOC wurde in 1610 für eine Handelsgesellschaft autorisiert. In 1618, der Handelsposten, der einen Konflikt mit dem lokalen Lineal, dem Zwerghuhn und den nachgegebenen Engländern verstärkt. Die resultierende Belagerung am 30. Mai 1619 durch Jan Pieterszoon Coen, der mit Verstärkungen vom Moluccas, gebrochen ankam. Das war der VOC, ohne, Lineal des Territoriums von Jacatra gewollt zu werden. Auf der Ostseite des Ciliwung wurde ein Quadratschloss mit großen vorspringenden Bastions an den Ecken gebaut.
Im Süden vom Schloss war eine kleine ummauerte gebaute Stadt. Nachdem die Belagerung in 1628 / 9 Ciliwung geleitet wurde und eine Stadt unter den dann vorherrschenden Ideen in der Republik war, wurden von Simon Stevin (1548-1620) hauptsächlich verteilt. Es war ein typisches holländisches gebautes Kanal-System.
Die Stadt wuchs fest. Von 1667 Bambus-Häusern innerhalb der Stadt wurden verboten. Das war auch um diese Zeit behaltend Viehbestand in der verbotenen Stadt.
Das Gebiet außerhalb der Stadt blieb lange unsicher. Nur wenn Frieden in 1684 vom Zwerghuhn, die Ausnutzung des Ommelanden auf dem besten Wege unterzeichnet wurde. Weil die Stadt angezogen immer mehr Leute mehrere Vorstädte außerhalb der Stadtmauern erschien. Allmählich der Boden um kultivierten Batavia. Außer vielem Land kamen Häuser das Farm-Gehen. Insbesondere die Chinesen machten einen Anfang mit der Kultivierung des Zuckerrohrs und Zuckers, welcher Arrak (ein Typ von Kognak) gemacht wurden.
Wegen des großen Bauholzes (einschließlich für die Raffinierung von Zucker) war viel Erosion und silted Kanäle in der schnell geschlossenen Stadt.
Trotz des Ausbaggerns der Kanäle stanken Schlamm-Lachen und eine Brutstätte für Moskitos. Im 18. Jahrhundert Batavia immer mehr betroffen durch Epidemien. Schließlich die alte 1810 dauerhaft demontierte Stadt.
Bevölkerung
Batavia wurde gegründet, um als ein Stapelmarkt und Verwaltungszentrum zu dienen. Eine Kolonie-Errichtung war nicht die Absicht des VOC. Coen setzte wirklich jedoch eine Stadt mit loyalen und fleißigen Leuten ein, die auf die Produktion und Versorgung des Essens aufpassten, und dass die Verteidigung eingesetzt werden konnte. Die Wanderung von holländischen Familien war nicht erfolgreich. Es gab eine Mischgesellschaft. Holländische Männer waren Kinder von asiatischen Frauen. Ihre Kinder wurden mestizos genannt.
Weil die VOC handeln, wären alle ihre eigenen Hände freie wie möglich ausgeschlossene Bürger gewesen. Batavia war deshalb Personen außerhalb des VOC Dienstes unattraktiv würde reich sein.
Die meisten Einwohner waren vom asiatischen Abstieg. Waren auch von Indien und Arakan (Birma) viele Tausende von Sklaven landeten. Später, die Sklaven auch von Bali und Sulawesi. Steigen zu vermeiden, waren nicht als javanische Sklaven ernannt werden.
Erwartet, Chinesisch zu Batavia (manchmal gewaltsam) zu locken, gab es eine große chinesische Bevölkerung, die sowohl Großhändler als auch Arbeiter bestand. Diese Gruppe war für die Entwicklung der Stadt sehr entscheidend.
Auch gebildet eine große Gruppe Mardijkers (Portugiese sprechender vom Portugiesen versklavter Asiat Christen waren). Sie wurden Gefangene durch den VOC in den vielen Zusammenstössen mit dem Portugiesen gemacht.
Außerdem finden wir in Batavia Leuten von allen Teilen des Archipels und tauschen Gemeinschaften von indischen Hindus und Moslems (Mauren und Genti Sogar) und Männliches Irisch.
Am Anfang einander durch das Leben. Als bald entstand jedoch Nachbarschaft mit Leuten desselben Ursprungs.
Ein Steigen die Stadtmauern gebaut zu den Zitadellen fürchtend, konnten die Straßen in der Stadt bedecken. Nur die Chinesen und der VOC Mardijkers waren vertraut. In 1656 verlangte, dass sich alle Javaner, infolge Feindschaften mit dem Zwerghuhn, außerhalb der Wände niederlassen.
In 1688, die ganze Abtrennung der indonesischen Bevölkerung, einer Tatsache. Jede Gruppe hatte zu Ommelanden im kampong, unter ihren eigenen Chefs zu gründen. Allen Einwohnern wurde mit gutem Beispiel vorangegangen oder tjap, Leitung ein Identitätsanhängsel, das mit dem Zeichen der relevanten Bevölkerung gekennzeichnet wurde. Später wurde es durch ein sterben Pergament ersetzt. Es war nicht ohne Zustimmung außerhalb ihrer eigenen ethnischen Gruppe sind verheiratet.
Obwohl die Chinesen vertraut das Beste herausholten, waren sie gerade die meisten Probleme. Ommelanden die chinesischen Banden waren unsicher und 1740 machten sie einen Angriff auf die Stadt. Als die Holländer mit einem Chinesen in den Stadt-Armen nach einem Gemetzel der Chinesen gebracht wurden. Später besitzen die Chinesen eine Zusammensetzung im Süden von der Stadt, und sie lebten wieder in der Stadt.
Rathäuser und Häuser
Batavia war in vielen Empfehlungen eine holländische Stadt. Aber die Häuser wurden an tropische Bedingungen ein bisschen angepasst. Dort hängten über Dachüberhang über, um gegen die Sonne zu schützen, und viele Gebäude wurden gebaut, um die Sklaven aufzunehmen.
Die Reichen bauten riesige Wohnsitze. Nur im holländischen Stil aber später in einem indischen oder javanischen Stil. Keine Fußböden und übergesprungene Galerien tief durch ein riesiges punkt-geformtes Dach. Das war die beste Lüftung.
Frauen von Batavia
Es gab wenige Frauen in holländischem Batavia. Männer hatten häufig Verkehr mit asiatischen Frauen, um sie nicht zu heiraten, weil dann sie zur Republik nicht zurückkehren konnten. Das schuf eine Mischkultur in Batavia (Mestizocultuur).
Söhne waren häufig in Europa, um zu studieren. Töchter mussten im Osten bleiben, sie heirateten häufig in einem sehr jungen Alter VOC Angestellte. Weil die Frauen immer in Batavia blieben, waren sie die Türangel des sozialen Netzes. Sie wurden gewöhnt, um sich mit Sklaven zu befassen, und sprachen ihre Sprache, größtenteils portugiesisch und malaiisch.
Prunk und Umstand
Es gab einen hohen Grad der Protzigkeit der Batavian Highsociety. Am Beharren der Herren Siebzehn kam im Gefolge der Republik auch in Batavia Aufwandsgesetzen, die die Reichtum-Produktion schufen, musste in Grenzen bleiben. Das würde auf Kosten des VOC gehen. Die Führung in Batavia pensioniert nicht zu viele dieser Gesetze. Der Fall war 1754 durch den Generalgouverneur Jacob Mossel strenger gerichtet. In jedem Rang wurde registriert, wie die äußere Show (Größe des Fahrzeugs, Zahl von Pferden vorher, den Juwelen, Stickerei der Kleidung, usw.) sein könnte. Unter Einfluss der Ideale der Gleichheit wurden sie wieder 1795 abgeschafft.
Sklaven
Niederländisch und Mestize-Frauen hatten die Gewohnheit zu den Straßen, die durch eine große Zahl von gut angekleideten Sklaven zu folgen sind. Auch hier waren Mossel drastische angewandte Beschränkungen.
Im 18. Jahrhundert waren mehr als 60 % der Bevölkerung Sklaven. Sie wurden gewöhnlich nur für Haushaltsaufgaben verwendet. Der Mechanismus und Existenzbedingungen waren allgemein vernünftig. Es gab Gesetze, die sie gegen allzu grausame Handlungen ihrer Master schützten. Christlichen Sklaven wurde nach dem Tod ihrer Master-Freiheit gegeben. Einigen Sklaven wurde erlaubt sich zu bekennen ein Handwerk versorgen oder machen Geld, um sich einzulösen.
0 komentar