Angke
Nama Angke sebenarnya sudah ada jauh sebelum terjadi pembantaian Tionghoa di Batavia di tahun 1740 (pertengahan abad ke 18) . Dalam sejarah kota Jakarta disebutkan pada abad ke 16 dan awal ke abad
17, penguasa Jayakarta (nama Jakarta dahulu) ketika itu bernama Pangeran Tubagus Angke (1570-1600 ?), sebagai Adipati Jayakarta kedua dan bawahan (vasal) kesultanan Banten serta penerus Fatahillah.
Anak dari Pangeran Tubagus Angke ini adalah Pangeran Jayakarta yang disebutkan oleh orang Inggris dan Belanda sebagai “Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra”. (Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, A. Heuken SJ).
Pada jaman Pangeran Jayakarta inilah orang-orang asing Eropaseperti Inggris dan Belanda (sebelumnya di abad ke 16 orang Portugis juga sudah mengunjungi Jakarta) mulai berdatangan yang kemudian harinya pecah konflik dengannya.
Penduduk Tionghoa sendiri juga sudah ada sebelumnya di kota ini, dan kemudian harinya bertambah lagi dengan orang-orang Tionghoa yang berdatangan dari Banten dan terutama sesudah Banten (dibawah Sultan Ageng Tirtayasa) dikuasai oleh Belanda.
Nama Pangeran Tubagus Angke sendiri didalam buku “Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten” (Hoesein Djajadiningrat) disebutkan sebagai “Ratu Bagus Angke” yang juga adalah menantu dari Sultan Hasanuddin, penguasa Banten yang dinikahkan dengan putrinya Ratu Pembajun.
Dia disebut Ratu Bagus Angke, karena ditempatkan didaerah dekat kali Angke di Jakarta. Ketika itu kali Angke merupakan perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Jayakarta sebelum dipindahkan dikemudian harinya ke sungai Cisadane. Nama Pangeran Tubagus Angke kini dijadikan nama jalan di Angke yang dahulunya bernama “Bacherachtsgracht”.
Menurut Denys Lombard, Angke adalah berasal dari kata Tionghoa yang berarti “Riviere qui deborde’, yakni kali yang (suka) banjir (Tempat- tempat bersejarah di Jakarta, hal 166. A. Heuken SJ).
Apakah benar transliterasi Lombard ini ?
Di pemukiman-pemukiman yang mayoritas penduduknya orang Tionghoa padajaman dahulu, terutama di kawasan kota lama seperti di Jakarta Utara, tak jarang nama lokasi atau jalan berasal dari bahasa atau dialek Tionghoa.
Angke sebagai bagian kota tua dan bersejarah Jakarta, selain pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Tionghoa di tahun 1740 juga mempunyai cerita sejarah lain yang menarik seperti :
Pada abad ke 17 itu juga, Arung Palakka (pahlawan dan bangsawan Bugis dari Bone) berserta pengikutnya pernah bermukim di Angke pada tahun 1663 sebagai tempat penampungan dan pengungsian sementara di Batavia setelah terdesak oleh kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. ketika itu. Kemudian di tahun 1666 Arung Palakka kembali bersama pengikutnya dan tentara VOC lainnya ke Makassar untuk menaklukan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa di Makassar. Pengikut Arung Palakka ini adalah prajurit-prajurit tangguh yang disegani lawan (warrior) dan dinamakan “Toangke” , yakni “orang dari Angke” (People of Angke), dinamakan demikian karena tempat pemukimannya di Jakarta terletak di daerah sekitar kali Angke ketika itu. (“The Heritage Of Arung Palakka”, Leonard Y. Andaya).
Disini juga terdapat sebuah mesjid bersejarah yang menarik, baik dari segi sejarah maupun dari segi arsitektur. Mesjid ini dinamakan mesjid Angke, kini disebut sebagai Masjid Al- Anwar yang didirikan
pada tahun 1761 untuk orang Bali pemeluk Islam yang bermukim di kampung Gusti dan dibangun oleh seorang kontraktor Tionghoa. Ketika itu banyak orang Bali yang tinggal di Batavia yang sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak. Walaupun sudah diperbaiki beberapa kali, bangunan mesjid Angke ini
masih menunjukkan campuran harmonis antara unsur-unsur bangunan Bali, Belanda, Jawa dan Tionghoa. Didepan masjid tua ini terdapat makam salah satu orang keturunan Sultan Pontianak, Alkadri (abad 19)
bersama makam beberapa kerabat Arab lainnya. Dibelakang mesjid terdapat sebuah batu nisan kuburan tua yang terpahat tulisan “Nyonya Chen Men Wang Shi Zhi Mu”. Nyonya Chen yang lahir sebagai Wang seorang wanita Tionghoa Muslim (Mesjid-mesjid tua di Jakarta, A. Heuken SJ).
Adanya kuburan Ny. Chen ini menimbulkan cerita, bahwa ia bersama suaminya, seorang Banten, mendirikan mesjid Angke ini. Konon menurut seorang Belanda, Dr de Haan, dalam bukunya “Oud Batavia” menulis bahwa pada tahun 1621 seorang sekretaris Souw Beng Kong (Kapitan Tionghoa pertama di Jakarta) yaitu Gouw Tjay alias Jan Con , seorang tukang kayu Tionghoa Muslim dari Banten yang kaya, memperoleh tanah di kampung Bebek, yang terletak disebelah utara Angke. Ia hendak mendirikan masjid diatas tanahnya. Kalau informasi ini benar, maka inilah mesjid pertama di Batavia, (A. Heuken SJ, “Mesjid-mesjid tua di Jakarta”, hal. 69) **Sumber http://tubagusratu.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-jalan-tubagus-angke
... Nugroho Notosusanto dalam sebuah tulisan yang terbit dalam Ketoprak Betawi menulis, tanggal 21 Agustus 1522 Pajajaran dan Portugis membuat perjanjian, di mana Portugis, melalui Fransisco de Sa, diizinkan membangun sebuah benteng di Sunda Kalapa. Pada 1526 de Sa mendapat tugas menggempur Bintan dan dari sana ia mengarah ke selatan hingga bertemu Fatahillah dan kalah.
Lantas siapa itu Fatahillah? Ia berasal dari Pasai dan melarikan diri saat kota itu direbut Portugis. Fatahillah pun mengembara ke Demak. Dari Demak ia tiba di Jawa Barat dan bertemu de Sa di Sunda Kalapa. Bertempur, menang, dan tinggal sebentar di Jayakarta untuk kemudian pergi ke Cirebon dan menetap di sana. Kekuasaan diserahkan kepada Tubagus Angke. Siapa dia, sejarah tak terlalu banyak menyebut siapa Tubagus Angke ini. Dalam penelitian Dinas Museum dan Sejarah tahun 1994 disebutkan, Tubagus Angke masih kemenakan Maulana Bagdad atau Maulana Abdurahman (dalam Babad Banten).
Tubagus Angke dikatakan memiliki putra yang kemudian melanjutkan kekuasaan di Jayakarta. Nama sang putra adalah Pangeran Jakarta Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama inilah yang kemudian takluk pada pasukan VOC di bawah JP Coen. Coen kemudian membakar kota Jayakarta dan membangun Batavia di atas reruntuhannya.
Pangeran Jakarta Wijayakrama diperkirakan mulai memerintah pada 1596 karena dalam salah satu sumber Belanda disebutkan, raja Jayakarta di kala itu sudah tua – maksudnya Tubagus Angke. Di seputaran waktu itu diperkirakan kekuasaan sudah diserahkan kepada Pangeran Jakarta.
Pada 1610 Wijayakrama membuat perjanjian dengan Pieter Both, gubernur jenderal, yang isinya antara lain, orang Belanda yang datang ke Jayakarta boleh berdagang; orang Belanda boleh membangun loji untuk tempat dagangan mereka; orang Belanda boleh mengambil kayu dari pulau-pulau untuk membuat kapal; cukai barang diserahkan ke Raja Jakarta.
Namun lama kelamaan hubungan itu makin tak harmonis hingga tiba JP Coen di Jayakarta. Perselisihan itu berbuntut perang pada 1618 dan akhirnya pada 1619 Jayakarta berhasil direbut Coen. **Sumber http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2009/06/20/14090420/sejarah.jakarta.periode.fatahillah.hilang
0 komentar